Karena Bumi Cuma Satu: Ramadan Bukan untuk Menambah Timbunan Sampah Pakaian

Bulan Suci Ramadan merupakan bulan penuh berkah untuk menunaikan kebaikan dan menyebarkan kepedulian. Namun bersamaan dengan itu, sebagian masyarakat selain menunaikan ibadah puasa dan lainnya, juga kerap kali membeli pakaian baru dalam menyambut bulan suci Ramadan.

Snouck Hurgronje salah seorang penasihat urusan pribumi saat kepemimpian Hindia Belanda merekam tradisi baju saat lebaran dimulai dari awal abad ke-20.

“Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck dalam Merdeka.

Sedangkan menurut buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis oleh Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, mencatat tradisi beli baju baru saat lebaran dimulai dari tahun 1596, saat di masa Kesultanan Banten. Namun saat itu hanya kalangan kerajaan yang mampu membeli baju baru, rakyat jelata akan menjahit pakaian mereka sendiri.

Dalam pandangan Islam, membeli baju baru bukanlah sebuah kewajiban dalam memaknai Bulan Suci Ramadan.

Ada sebuah hadis yang diriwiyatkan oleh Bukhari yang berbunyi: Sungguh Abdullah bin Umar, ia berkata : “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual di pasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah berkata kepada Umar: “sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian ”. (HR. Al Bukhari).

Selain itu Abu Al-Hasan dalam Hasyiah As-Sindi ala An-Nasa’i perihal tersebut, bahwa sunnah dan kebiasaan para salaf (orang-orang dahulu): “Dari hadis ini diketahui, bahwa berhias di hari raya termasuk kebiasaan yang sudah ada di kalangan para sahabat, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak mengingkarinya.”

Hal tersebut juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al Mustadrak ‘alaa Al-Shohihain: Dari Zaid bin Al Hasan bin Ali, dari ayahnya, radliyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada hari untuk memakai pakaian yang ada dan memakai wangi-wangi dengan apa yang ada.”

Dengan demikian, membeli pakaian baru bukanlah sebuah kewajiban. Namun diri yang bersih adalah kunci dalam memaknai Ramadan. Terlepas membeli baju atau memakai pakaian yang lama bukanlah perkara inti, melainkan membersihkan diri dalam menyambut Ramadan yang paling penting.

Namun dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Market Research Home Credit Indonesia menemukan fakta bahwa saat bulan Ramadan masyarakat cenderung membeli pakaian dan aksesori baru dengan persentase 43 persen.

Kemudian disusul dengan gawai sebagai barang yang paling sering dibeli dengan persentase 34 persen. Setelah dua kategori itu, ada barang elektronik rumah tangga (27 persen), furnitur (16 persen), bingkisan (hamper dan parsel) dengan 14 persen, serta dekorasi rumah (13 persen).

VP Brand and Marketing Strategy Home Credit Indonesia Martha Grashiana menjelaskan pola konsumtif seperti ini merupakan kebiasaan yang telah terjadi sepanjang bulan Ramadan. Pola ini didorong dengan adanya pembagian tunjangan hari raya (THR) oleh pemberi kerja kepada karyawannya.

”Masyarakat cenderung mengalokasikan lebih banyak dana untuk memenuhi kebutuhan seperti zakat, buka puasa bersama, makanan, hingga belanja aneka kebutuhan dalam periode ini,” ujar Martha pada paparan Survei Perilaku Konsumen, Kamis (6/4/2023) sebagaimana diberitakan oleh Kompas.

Namun perlu diketahui, pakaian merupakan termasuk jenis sampah yang sering dibuang oleh masyarakat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampah jenis pakaian berada di peringkat ketujuh dari jumlah sampah yang ada di Indonesia pada tahun 2022.

Co-Founder Our Reworked World, Annika Rachmat menyampaikan bahwa satu juta ton tekstil merupakan limbah tekstil dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia.

Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris, Alan Wheeler juga menyampaikan bahwa industri pakaian telah berkontribusi sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Bahwa 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh industri tekstil di dunia. 

Hal senada juga diungkapan oleh CEO Indonesia Fashion Parade (IFP) Athan Siahaan, bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah pakaian terbesar kedua di dunia. Menurut Athan, limbah pakaian mencapai 37 ton setiap bulannya.

Dengan ragamnya masalah meliputi produksi dan konsumsi terkait pakaian, hal ini memunculkan tren untuk membeli pakaian yang lebih sustainable atau ramah lingkungan. Masyarakat akan membeli produk pakaian yang terbuat dari bahan yang ramah lingkungan atau terdapat label sustainable. Produsen pakaian juga menggencarkan produk-produk dengan konsep yang ramah lingkungan.

Akan tetapi tidak sedikit produsen-produsen pakaian hanya mencamtumkan label yang ramah lingkungan tanpa pembuktian yang memadai.

Hal ini terlihat dalam catatan Competition and Markets Authority (CMA) United Kingdom yang melihat, “Konsumen ditipu bayar mahal untuk produk pakaian yang membuat klaim besar tentang produk yang ramah lingkungan tetapi tidak memiliki bukti yang kuat. Seluruh produk pakaian dengan label “berkelanjutan” dan “ramah lingkungan”, kerap tidak memiliki bukti yang kuat—mulai dari proses produksi, pengemasan, pengiriman dan penjualan—bagi lingkungan,” tulis dalam The Guardian.

Cecilia Parker Aranha, direktur perlindungan konsumen CMA, mengatakan: “Menurut penelitian kami, sekitar 60% orang telah mengatakan bahwa mereka cenderung atau cenderung bersedia membayar lebih untuk produk, bahkan jauh lebih banyak sebesar 9 persen untuk membeli produk yang ramah lingkungan. Kesan saya adalah orang-orang bersedia membayar premi,” sebagaimana dikutip dalam The Guardian.

Meski demikian, beberapa produk yang ramah lingkungan belum bisa dikonsumsi semua masyarakat. Lantaran biaya yang dibutuhkan untuk beli tidak jarang jauh lebih mahal ketimbang membeli produk yang tidak ramah lingkungan. Bagi mereka yang memiliki uang lebih atau termasuk dalam kelompok kelas menengah ke atas, akan lebih mudah membeli produk yang ramah lingkungan, namun tidak untuk mereka yang berada dalam garis kelas ekonomi kurang mampu.

Rachel Grant, CEO merek pakaian ramah lingkungan Bad Decision Adventure Club mengatakan “Alasan mengapa bisa begitu mahal adalah karena dibutuhkan tanaman organik untuk menghasilkannya. Mereka biasanya ditanam tanpa pestisida dan pupuk sintetis dan tidak dapat dimodifikasi secara genetik,” kata Grant, yang perusahaannya menggunakan rami sebagai bahannya. “Ada perundangan pemerintah yang sangat ketat untuk mendapatkan sertifikasi organik, itulah sebabnya lebih mahal untuk menggiling kain organik atau daur ulang,” ucapnya kepada Bustle.

Dengan demikian akan lebih tepat apabila masyarakat menggunakan pakaian mereka yang ada untuk menyambut Idul Fitri di bulan Ramadan ini. Tanpa harus membeli pakaian baru dan menyumbang jumlah sampah pakaian yang ada di Indonesia ini. Sebagai perbandingan, kalian bisa melihat proyeksi visual yang dibuat salah satu merek pakaian yang ramah lingkungan ini untuk mengetahui seberapa besar limbah pakaian yang tercipta akibat pola hidup konsumtif.

Karena Bumi Cuma Satu maka kita harus menyadari bahwa segala bentuk tindakan konsumtif kita bisa memberikan dampak yang buruk bagi bumi pertiwi. Sehingga perlu adanya batasan yang dibuat dan upaya-upaya untuk mencegah dampak kerusakan dari segala bentuk tindakan kita sebagai manusia dan masyarakat. Bumi adalah tempat terbaik bagi hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya. (AFP/ DMC Dompet Dhuafa)