Saat Belanda melancarkan agresinya yang kedua di Yogyakarta pada 19 Desember 1948, membuat masyarakat pengelola dapur umum menjadi khawatir.
Sebagian masyarakat mengungsi dan pergi bersembunyi, hingga membuat dapur umum hilang. Namun tidak selang lama, muncul kembali dapur umum dengan secara berpindah-pindah.
Masyarakat khawatir apabila dapur umum menetap dalam satu tempat, maka sekutu akan mengetahui lokasi mereka dan segera melancarkan serangan kepada mereka.
Maka setiap melancarkan aksi distribusi makanannya, mereka akan segera melenyapkan bekas-bekas yang dapat menimbulkan kecurigaan tentara Belanda.
Ibu Ruswo yang sudah memulai dapur umum pada tahun 1946 melanjutkan perjuangannya yang juga dibantu oleh Sulianti Sulaiman, Ny. Budiharjo, dan Kurianingrat. Ibu Ruswo mengajak para ibu di kampung untuk membuat makanan dan mengalihfungsikan rumahnya menjadi dapur umum.
Letak dapur umum tersebut terletak di gang sempit paling timur di Jalan Yudonegaran atau Jalan Ibu Ruswo. Ini merupakan lokasi bersejarah dalam pendirian rekam jejak dapur umum di Indonesia.
Setelah mendirikan dapur umum, maka lokasi atau rumah yang dijadikan dapur umum akan berganti. Lokasinya selalu berpindah-pindah agar tidak terdeteksi oleh tentara musuh dan para penerima manfaat juga tidak terancam akan sergapan tentara musuh.
Pernah dalam suatu kejadian Bung Tomo menginformasikan pasukan tentara Indonesia yang kekurangan perbekalan makanan, naasnya informasi itu didengar oleh tentara musuh dan pasukan Indonesia tersebut habis diserang oleh tentara Belanda.
Pembiayaan untuk pengadaan bahan makanan juga dilakukan bersifat swadaya atau bergotong-royong. Biaya dapur umum menjadi tanggungan masing-masing penduduk yang sedang bertugas di dapur umum.
Jenis makanan yang disajikan sederhana hanya sumbangan dari para tetangga dan miliknya sendiri.